PENGARUH KEKASARAN PROSES PEMBUBUTAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses pemesinan adalah salah satu proses
utama dalam industri manufaktur logam. Pada Proses pemesinan memegang peranan penting seiring
dengan kemajuan teknologi pada dunia industri otomotif, konstruksi mesin dan komponen
khususnya.
Mesin perkakas yang digunakan dalam proses pemesinan meliputi mesin bubut,
sekrap, drilling, milling serta mesin perkakas lainnya (Amstead, 1970).
Proses bubut merupakan proses
pembentukan material dengan membuang sebagian material dalam bentuk geram
akibat adanya gerak relatif pahat terhadap benda kerja, dimana benda kerja
diputar pada spindle dan pahat dihantarkan ke benda kerja secara translasi
(Kalpakjian, 2001).Operasi pemotongan yang dapat dilakukan menggunakan proses
bubut diantaranya straight turning, taper turning, profiling, turning and
ecternal grooving,cutting with a form tool, facing, face grooving, boring and
internal grooving, drilling, cutting off, threadingserta knurling (Kalpakjian
& Schmid: 2001)
Kalpakjian & Schmid (2001) mengatakan bahwa parameter yang
sangat menentukan kekasaran permukaan adalah kedalaman pemakanan (depth of cut), laju pemakanan (feed rate) dan kecepatan potong.
Demikian pula Rochim, (1983) bahwa hasil komponen proses pembubutan terutama
permukaan sangat dipengaruhi oleh sudut potong pahat, kecepatan makan (feeding), kecepatan potong (cutting speed), kedalaman pemotongan (depth of cut) dan lain-lain.
Pada proses
pembubutan kekasaran dari hasil
pekerjaan merupakan hal yang sangat penting. Kualitas pembubutan logam sangat
dipengaruhi oleh jenis pahat yang digunakan seperti misalnya pahat bubut High
Speed steel (HSS) dan karbida. Perkembangan cutting tool seperti
pahat bubut jenis carbide, CBN, keramik, dan inserts tool sudahsemakin
maju. Meskipun demikian, jenis pahat konvensional salah satunya jenis pahat HSS
(high speed steel) masih tetap
digunakan (Rochim, 1993) terutama di bengkel produksi yang bersekala kecil
sampai menengah (Firmansyah, 2010).
Pahat
HSS merupakan baja karbon tinggi yang mengalami proses perlakuan panas (heat treatment) sehingga kekerasan
menjadi cukup tinggi dan tahan terhadap temperature tinggi tanpa menjadi lunak (annealed) (Rochim, 1993). Pahat bubut HSS
merupakan paduan dari 0,83% Carbon (C), 4,13% Chromium (Cr), 6,13% Tungsten (W),
5% Molybdenum (Mo), dan 1,98% Vanadium
(V), (Davis, 1998).
Bimbing Atedi dan
Djoko Agustono (2005) menyatakan bahwa” Karakteristik suatu kekasaran permukaan memegang perana penting
dalam perancangan komponen mesin. Hal tersebut perlu
dinyatakan dengan jelas misalnya dalam
kaitannya dengan gesekan, keausan, pelumasan, ketahanan kelelahan, perekatan dua atau lebih komponen-komponen mesin”.
Asmed dan Yusri (2010) menyatakan bahwa
“menggunakan metode Full Factorial untuk
menentukan rancangan eksperimen, dengan parameter proses yang meliputi
kecepaatan potong, kedalaman potong dan gerak makan, masing-masing 3 level pada proses bubut material ST 37
dengan 3 faktor dan 2 tingkat pada proses bubut material ST 37.
Angger (2015) mengatakan bahwa
“kekasaran permukaan memegang peranan penting dalam kualitas produk dan
merupakan salah satu parameter penting, selain kekasaran permukaan pengukuran
keausan pahat juga diperlukan karena dalam proses permesinan harga produksi
banyak dipengaruhi oleh penggunaan pahat”.
Oleh karena itu,
Kekerasan permukaan (roughnees)
merupakan ketidak teraturan konfigurasi suatu permukaan ditijau dari profilnya.
Maksudnya dari konfigurasi adalah batasan yang memisahkan benda pada
sekelilingnya (Munadi, 1983). Salah satu karateristik geometris yang ideal dari
suatu komponen adalah permukaan yang halus.
Pada penelitian
ini, dilakukan untuk memperoleh data hasil dari proses pembubutan yaitu suatu
proses pemotongan logam menggunakan mesin bubut konvensional dengan mata pahat
potong HSS (high speed steel) dan
tanpa menggunakan cairan pendingin. Dimana dalam pelaksanaannya penulis akan
membuat spesimen uji kekasaran permukaan dengan meggunakan metode full
factorial dari jenis material yang tergolong baja karbon rendah (low carbon steel) seperti baja ST 37
yang pada umumnya digunakan pada industri otomotif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang dapat dirumuskan permasalahan dalam penilitian ini adalah
bagaimana pengaruh variasi kecepatan potong, kecepatan makan dan kedalaman
pemakanan pada penggunaan proses bubut terhadap tingkat kekasaran permukaan benda
kerja ST 37?
C.
Tujuan Penilitian
Untuk
mengetahui pengaruh variasi kecepatan potong, kecepatan makan dan kedalaman
pemakanan pada penggunaan proses bubut terhadap tingkat kekasaran benda kerja
ST 37.
D.
Manfaat
Untuk
membantu masyarakat umum, akademis dan industri dalam hal menentukan parameter
pemesinan untuk mendapatkan hasil pengukuran kekasaran permukaan (surface roughness) yang diinginkan.
E.
Batasan Masalah
1. Parameter yang dipertimbangkan adalah
kecepatan potong (cutting speed),
kecepatan makan (feed rate) dan
kedalaman pemakanan (depth of cut).
2. Eksperimen difokuskan pada proses pembubutan
memanjang (parallel turning) pada
tahap finishing.
3. Material benda uji adlah ST 37 berbentuk
batang pejal dengan ukuran Ø 35 x 150 mm.
4. Penilitian menggunakan metoda fuul factorial
dengan 3 faktor dan 2 tingkat sehingga terdapat 23 = 8 variasi
percobaan dengan satu kali percobaan .
5. Pahat yang digunakan adalah pahat HSS 38 mm
6. Parameter permesinan yang digunakan, antara
lain kecepatan makan 50 dan 80, kedalaman potong 0,3 dan 0,7, gerak makan 0,07
dan 0,09.
F.
Asumsi Penilitian
1. Pahat dan mesin bubut dianggap kaku sehingga
pengaruh getaran terhadap kekasaran permukaan dapat diabaiikan.
2. Parameter yang diamati sebagai variable
adalah kecepatan potong (v), laju pemakanan (f), dan kedalam pemotongan (a)
3. Respon yang diamati adlah kekasaran permukaan
(surface roughness/ra).
4. Eksperimken difokuskan pada pembubutan
memanjang.
5. Mesin bubut yang digunakan tidak mengalami
penurunan kinerja.
6. Material pahat dan benda kerja memiliki
karateristik yang sama.
7. Setup
pahat terhadap benda kerja dan pencekaman benda kerja untuk setiap pengambilan
data dalam kondisi yang sama.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dibuat agar dapat
memudahkan pembahasan penyelesaian masalah dalam penilitian ini. Adapun dari
pokok-pokok pemasalahan dalam penilitian ini dapat dibagi menjadi lima bab,
seperti dijelaskan dibawah ini.
BAB I :PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan berbagai hal mengenai
latar belakang penilitian, perumusan masalah, tujuan penilitian, manfaat
penilitian, batasan masalh, asumsi penilitian dan sistematika penilitian.
BAB II :KAJIAN
PUSTAKA
Bab
ini menggunakan teori yang dipakai untuk mendukung penilitian, sehingga
perhitungan dan analisis dilakukan secara teoritis. Tinjauan pustaka diambil
dari berbagai sumber yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang dibahas
dalam penilitian.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Bab
ini berisi tahapan yang dilalui dalam penyelesaian masalah secara umum yang
berupa gambaran terstruktur dalam bentuk flowchart
sesuai dengan masalah yang ada mulai dari studi pendahuluan, pengumpulan data
sampai dengan pengolahan data dan analisis.
BAB IV :PENGUMPULAN
DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini berisi
data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, kemudian dilakukan pengolahan
data secara bertahap.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab
ini merupakan tahap akhir penyusunan laporan penilitian yang berisi pencapaian
tujuan penilitianyang diperoleh dari analisis pemecahan masalah maupun hasil
pengumpulan data saran perbaikan bagi kelanjutan penilitian.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Sebelumnya
Hadimi,
(2008) melakukan penilitian mengenai pengaruh perubahan kecepatan kecepatan
pemakanan terhadap kekasaran permukaan pada proses pembubutan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan terhadap nilai kekasaran
permukaan karena perubahan kecepatan pemakanan padaproses pembubutan benda uji
Ø 30, 40 , 50 dan 70 mm, bahan ST 37
dengan kedalaman pemakanan 0,25 mm dan putaran mesin 950 rpm. Rata-rata nilai
kekasaran yang terkecil adalah pada Ø 30
mm yang menghasilkan kekasaran permukaan paling baik. Hal ini menunjukkan bahwa
kecepatan pemakanan, putaran dan diameter benda yang dibubut berpengaruh
terhadap nilai kekasaran permukaan.
Asmed dan Yusri, (2010) melakukan
penilitian mengenai pengaruh parameter pemotongan terhadap kekasaran permukaan
proses bubut untuk material ST 37. Penilitian
ini bertujuan untuk mendapatkan tingkat parameter pemotongan yang signifikan
(berpengaruh) terhadap kekasaran permukaan. Hasil Penelitian ini kekasaran
permukaan didapatkan sebesar 2,88 µm pada kondisi percobaan; dalam pemakanan
1,5 µm (paling tinggi), laju pemakanan 0,168 mm/rev (paling rendah) dan
kecepatan potong 250 m/min (paling rendah).
Angger
(2015) melakukan penilitian mengenai aplikasi metode taguchi pada optimasi
parameter permesinan terhadap kekasaran permukaan dan keausan pahat HSS pada
proses bubut material ST 37. Penilitian
ini bertujuan mengetahui putaran spindel, gerak makan, dan kedalaman potong
dalam mengurangi variasi respon kekasaran permukaan dan keausan pahat HSS pada
proses bubut material ST 37. Hasil Penelitian proses permesinan Bubut turning
pada material ST 37 yang paling besar dari ketiga faktor yang diuji untuk
kekasaran permukaan benda kerja adalah kecepatan potong yaitu 4,65 sedangkan
untuk keausan pahat adalah gerak makan yaitu 1,36.
B. Definisi Proses Pemesinan
Proses pemesinan adalah suatu proses dalam dunia manufaktur dengan
menggunakan mesin - mesin produksi yang merupakan lanjutan dalam proses
pembentukan proses akhier setelah pembentukan logam menjadi bahan baku berupa
besi tempa atau baja paduan atau dibentuk melalui proses pengecoran yang
dipersiapkan dengan bentuknya yang mendekati kepada bentuk benda yang
sebenarnya. Pada proses pemesinan terdapat beberapa proses untuk menghasilkan
produk mulai dari bahan baku yang diproses dangan cara tertentu secara urut dan
sistematis sehingga menghasilkan produk yang berfungsi. Suatu komponen mesin
mempunyai karateristik geometri yang ideal apabila komponen tersebut dapat
digunakan sesuai dengan apa yang yang dibutuhkan oleh mesin, dan haruslah
mempunyai ukuran /dimensi yang tepat, bentuk yang
sempurna dan permukaan yang halus. Namun dalam proses pengerjaannya tidaklah
mungkin membuat suatu komponen dengan karateristik geometri yang ideal. Suatu
hal yang tidak dapat dihindari adalah terjadi penyimpangan- penyimpangan selama
proses pembuatan, sehingga akhirnya produk tidak mempunyai geometri yang ideal.
Faktor – faktor penyimpangan didalam proses pemotongan logam yaitu penyetelan
mesin perkakas, metode pengukuran, gerakan dari mesin perkakas, keausan dari
pahat, temperatur, dan gaya- gaya pemotongan (Rochim,
1993).
Tabel
2.1 Klasifikasi proses pemesinan menurut jenis gerakan relative pahat/ terhadap
benda kerja
Sumber:
(Rochim, 1993)
Table 2.2.Karakteristik umum dari proses pemesinan.
Sumber (Kalpakjian & Schmid: 2008)
C. Mesin Bubut
Proses membubut merupakan salah satu
proses pemesinan untuk memproduksi komponen-komponen mesin (Rochim, 1993).
Dimana proses bubut termasuk kedalam proses pemesinan yang menggunakan pahat Mesin bubut
(turning machine) adalah suatu jenis mesin perkakas yang dalam proses kerjanya bergerak
memutar benda kerja dan menggunakan mata potong pahat sebagai alat untuk
menyayat benda kerja.
Pada prosesnya, benda kerja terlebih dahulu dipasang pada chuck yang
terpasang pada spindel mesin, kemudian spindel dan
benda kerja diputar dengan kecepatan sesuai perhitungan. Alat potong (pahat) yang dipakai untuk membentuk
benda kerja akan disayatkan pada benda kerja yang berputar. Umumnya pahat bubut dalam
keadaan diam.
Gambar 2.1 kontruksi mesin bubut
(Kalpakjian& Schmid: 2008)
Gambar
2.2 Skematis proses pembubutan
(Sumber: Kalpakjian & Schmid: 2008)
Fungsi utama mesin
bubut konvensional adalah untuk memproduksi benda - benda berpenampang silinder,
misalnya poros lurus, poros bertingkat, poros tirus, poros berulir, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.3 di bawah ini.
1.
Jenis-jenis proses dalam pembubutan
Gambar 2.3 Jenis-jenis proses pembubutan
Sumber (Kalpakjian & Schmid: 2008)
2. Bagian Utama Mesin Bubut
Bagian utama mesin bubut diantaranya:
Kepala tetap, kepala lepas, alas/ meja mesin, eretan transportir, sumbu utama,
tuas, pelat tabel, dan penjepit pahat.
a.
Kepala tetap, berfungsi sebagai dudukan beberapa perlengkapan mesin
bubut diantaranya: cekam (chuck), kollet, senter tetap, atau pelat
pembawa rata (face plate) dan pelat pembawa berekor (driving plate)
b.
Kepala lepas, digunakan sebagai dudukan senter putar (rotary centre),
senter tetap, cekam bor (chuck drill) dan mata bor bertangkai tirus yang
pemasanganya dimasukkan pada lubang tirus (sleeve) kepala lepas.
c.
Alas/ meja mesin, digunakan sebagai tempat kedudukan kepala lepas,
eretan, penyangga diam (steady rest) dan
merupakan tumpuan gaya pemakanan pada waktu pembubutan.
d.
Eretan (carriage), terdiri dari tiga bagian/ elemen diantaranya, eretan
memanjang, eretan melintang dan eretan atas.
1)
Eretan memanjang (longitudinal carriage), berfungsi untuk
melakukan gerakan pemakanan arah memanjang mendekati atau menajaui spindle
mesin, secara manual atau otomatis sepanjang meja/alas mesin dan sekaligus
sebagai dudukan eretan melintang.
2)
Eretan melintang (cross carriage), befungsi untuk melakukan
gerakan pemakanan arah melintang mendekati atau menjaui sumbu senter, secara
manual/ otomatis dan sekaligus sebagai dudukan eretan atas.
3)
Eretan atas (top carriage), berfungsi untuk melakukan pemakanan
secara manual kearah sudut yang dikehendaki sesuai penyetelannya.
e.
Poros Transportir dan Poros
Pembawa
1)
Poros transportir adalah sebuah poros berulir berbentuk segi empat atau
trapesium dengan jenis ulir whitehworth (inchi) atau metrik (mm), berfungsi untuk
membawa eretan pada waktu pembubutan secara otomatis, misalnya pembubutan arah
memanjang/ melintang dan ulir.
2)
Poros pembawa adalah poros yang selalu berputar untuk membawa atau
mendukung jalannya eretan dalam proses pemakanan secara otomatis.
f.
Tuas/ Handel terdiri pada mesin bubut standar terdiri dari beberapa
daintaranya, tuas pengatur putaran mesin, kecepatan pemakanan dan pembalik arah
putaran.
g.
Penjepit/ pemegang pahat (Tools Post) digunakan untuk menjepit
atau memegang pahat.
3. Perlengkapan Mesin Bubut:
Menurut
Perlengkapan mesin bubut diantaranya, Alat pecekam benda kerja, alat pembawa,
alat penyangga/ penahan dan alat bantu pengeboran.
a.
Alat pecekam benda kerja Alat pecekam benda kerjaterdiri dari cekam (chuck)
dan cekam kolet (collet chuck).
1)
Cekam adalah salah satu alat perlengkapan mesin bubut yang penggunaannya
dipasang pada spindle utama mesin, digunakan untuk menjepit/ mengikat benda
kerja pada proses pembubutan.
2)
Cekam kolet adalah salah satu kelengkapan mesin bubut yang berfungsi
untuk menjepit/ mencekam benda kerja yang memilki permukaan relative halus dan
berukuran kecil.
b.
Alat pembawa Yang termasuk alat pembawa pada mesin bubut adalah, pelat
pembawa dan pembawa (lathe doc). Jenis pelat pembawa ada dua yaitu,
pelat pembawa permukaan bertangkai (driving plate) dan pelat pembawa
permukaan rata (face plate). Konstruksi pelat pembawa berbentuk bulat
dan pipih, berfungsi untuk memutar pembawa (lathe-dog) sehingga benda
kerja yang terikat akan ikut berputar bersama spindel mesin.
c.
Alat penyangga/ penahan Alat penahan benda kerja pada mesin bubut
standar ada dua yaitu: penyangga dan senter (senter tetap/mati dan senter
putar).
1)
Penyangga adalah salah satu alat pada mesin bubut yang digunakan untuk
menahan benda kerja yang memilki ukuran relatif panjang. Alat ini ada dua jenis
yaitu, penyangga tetap (steady rest) dan penyangga jalan (follow
rest). Penggunaan penyangga tetap, dipasang atau diikat pada alas/meja mesin, sehingga kedudukannya dalam keadaan
tetap tidak mengikuti gerakan eretan. Untuk penyangga jalan, pemasangannya
diikatkan pada eretan memanjang sehingga pada saat eretannya digerakkan maka
penyangga jalan mengikuti gerakan eretan tersebut.
2)
Senter digunakan untuk mendukung benda kerja yang akan dibubut. Ada dua
jenis senter yaitu senter tetap/ mati (senter yang posisi ujung senternya diam
tidak berputar pada saat digunakan) dan senter putar (senter yang posisi ujung
senternya selalu berputar pada saat digunakan
d.
Alat bantu pengeboran Yang dimaksud alat bantu pengeboran adalah alat
yang digunakan untuk mengikat alat potong bor termasuk rimer, konterbor, dan
kontersing pada proses pembubutan. Ada dua jenis yaitu, cekam bor dengan kunci
dan cekam bor tanpa pengunci (keyless chuck drill).
e.
Spesifikasi mesin bubut standar Dimensi mesin bubut ditentukan oleh
panjang jarak antara ujung senter kepala lepas dengan senter kepala tetap dan
tinggi antara meja mesin dengan senter tetap.
4. Parameter Mesin Bubut
Menurut Rochim (1993), setiap proses pemesinan terdapat lima elemen
dasar yang perlu dipahami, yaitu :
a)
Kecepatan potong (cutting speed ) : V (m/min)
b)
Kecepatan makan (feeding speed)
: f (mm/min)
c) Kedalaman
potong (depth of cut) : a (mm)
d) Waktu
pemotongan (cutting time) : t
(min)
e)
Laju pembuangan geram (material removal rate) : Z
(cm³/min)
Elemen
dasar pada proses bubut dapat diketahui menggunakan rumus yang dapat diturunkan
berdasarkan gambar 2.4 berikut ini.
Gambar 2.4 Mesin Bubut dan Proses Bubut (Rochim, 1993)
Geometri benda kerja :
do = diameter awal (mm)
dm = diameter akhir (mm)
lt = panjang pemesinan (mm)
Geometri pahat :
kr = sudut potong utama (°)
γo = sudut geram (°)
Kondisi pemesinan:
a = kedalaman potong
f = pemakanan (mm/putaran)
N = putaran poros utama (rpm)
Dengan diketahuinya besaran-besaran di atas
sehingga kondisi pemotongan dapat diperoleh sebagai berikut :
1)
Kecepatan potong
Kecepatan potong untuk proses bubut
dapat didefinisikan sebagai kerja rata-rata pada sebuah titik lingkaran pada
pahat potong dalam satu menit. Kecepatan putar (speed), selalu
dihubungkan dengan sumbu utama (spindle) dan benda kerja. Secara
sederhana kecepatan potong di asumsikan sebagai keliling benda kerja dikalikan
dengan kecepatan putar. Kecepatan potong biasanya dinyatakan dalam unit satuan
m/menit (Widarto, 2008). Kecepatan potong ditentukan oleh diameter benda dan
putaran
poros utama.
Keterangan :
V = Kecepatan potong (m/min)
d =
Diameter benda kerja (mm)
n =
Putaran poros utama (benda kerja) (r/ min)
Gambar 2.5. Kurva Kecepatan potong
(Sumber: Schey, 2000)
2)
Kecepatan makan
Gerak makan, f (feeding) adalah
jarak yang ditempuh oleh pahat setiap benda kerja berputar satu kali sehingga
satuan f adalah mm/rev. Gerak makan pula
ditentukan oleh kekuatan mesin, material benda kerja, material pahat, bentuk
pahat, dan terutama kehalusan yang diinginkan. Sehingga kecepatan makan
didefinisikan sebagai jarak dari pergerakan pahat potong sepanjang jarak kerja
untuk setiap putaran dari spindel (Widarto, 1998).
vf = f . n (mm/min); (Rochim, 1993:15)……………...…………2.2
Keterangan :
vf = Kecepatan makan (mm/min)
f = Gerak makan (mm/r)
n = Putaran poros utama (benda kerja) (r/ min)
3)
Kedalaman potong (depth of cut)
Waktu
pemotongan adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk
(Rochim, 1993). Rumus waktu pemotongan adalah :
a =
(mm)………………………..……………………………….2.3
a = kedalaman potong (mm)
f = gerak makan (mm/rev)
n = putaran poros utama (rpm)
4)
Waktu pemotongan (cutting time)
Kedalaman potong didefinisikan sebagai
kedalaman geram yang diambil oleh pahat potong. Dalam pembubutan kasar,
kedalaman potong maksimum tergantung pada kondisi dari mesin, tipe pahat potong
yang digunakan, dan ketermesinan dari benda kerja (Rochim,1993). Rumus
kedalaman potong adalah:
tc
(min);
(Rochim, 1993:15)…………………………….…..2.4
Keterangan :
tc= Waktu pemotongan (min)
lt= Panjang benda kerja total/ keseluruhan (mm)
vf= Kecepatan makan (mm/r) = f.n
5)
Laju pembuangan geram (material removal rate)
Geram
adalah potongan dari material yang terlepas dari benda kerja oleh pahat potong.
Z= A .V (cm3/min) A = f
. a (mm2) jadi Z =
V. f. a (cm3/min)…2.5 Dimana: A = penampang geram
sebelum terpotong.
5. Metode Pemotongan Pada Proses Bubut
Metode pemotongan pada proses
pembubutan umumnya ada 2 cara yaitu proses pembubutan orthogonal
(pemotongan tegak) dan proses obligue cutting (pemotongan miring).
a.
Pemotongan Orthogonal
Gambar 2.6 Proses pemotongan orthogonal
(Sumber: Rochim, 1993)
Pemotongan tegak (Orthogonal cutting) merupakan suatu sistem pemotongan dengan gerakan relatif antara mata pahat dan
benda kerja membentuk sudut potong tepat 90
atau yang dinamakan dengan sudut potong utama
(Kr).
b.
Pemotogan Miring (Obligue Cutting)
Gambar 2.7 Pemotogan Miring (Obligue
Cutting)
(sumber: Kalpakjian & Schmid:
2008)
Sistem
pemotongan miring terjadi apabila sudut potong utama (kr) < 90°
dan sudut miring (ls)
≠ 0. Untuk luaspenampang geram sebelum terpotong
(A=f.a) yang sama maka panjangpemotongannya
(b = a/sin kr) akan lebih panjang bila kr < 90°. Hal ini akanmenyebabkan
bidang kontak antara geram dengan bidang geram pahat menjadi lebih luas.sehingga,
mata potong pahat yang aktif memotong tersebut dapat lebih diperpanjang lagi
dengan cara dimiringkan atau sudut miringnya (ls)
≠ 0° (Rochim, 34).
D. Geometri Alat Potong
Alat potong merupakan perkakas sentuhan
tunggal dengan sudut garuk (sudut buang), sudut bebas, dan sudut potong/ tatal
(Amstead, 1979 : 288). Sudut buang merupakan sudut penyayatan untuk
terbentuknya geram, setelah geram terbentuk kemudian geram diterima langsung
pada permukaan garuk (sisi buang) yang berfungsi sebagai jalan untuk aliran
geram setelah terlepas dari permuakan benda kerja (Dieter, 1986 : 288). Sudut
bebas merupakan sudut yang memberikan ruang bebas pahat dari gesekan terhadap
benda kerja. Sudut potong merupakan sudut yang berfungsi untuk memotong benda
kerja (Sumbodo, 2008 : 256). Pada pahat potong terdiri dari dua bagian sudut,
yaitu sudut samping (side cutting edge
angle) dan sudut potong akhir (end
cutting edge angle).
Gambar
2.8Geometri Pahat Bubut (sumber:
Kalpakjian
& Schmid: 2008)
(Sumber
: Kalpakjian & Schmid: 2008)
Pahat
yang baik harus memiliki sifat- sifat tertentu, sehingga nantinya dapat
menghasilkan produk yang berkualitas baik (ukuran tepat) dan ekonomis (waktu
yang diperlukan pendek). Secara umum, pahat harus memiliki sifat yang
berlawanan dengan benda kerja, sifat- sifat tersebut menurut Schey (2009),
antara lain:
a)
Pahat harus lebih keras dibandingkan dengan unsur- unsur paling keras
dengan benda kerja, bukan hanya pada suhu ruang, namun juga pada suhu
pengoperasian . kekerasan dalam kondisi panas (hot hardness) yang tinggi akan mencegah terjadinya deformasi
plastis, sehingga akan menjamin bentuk pahat akan terjaga dalam kondisi ekstrim
yang disebabkan oleh proses pembentukan tatal (penyayatan), dan juga membantu
menghambat keausan.
b)
ketangguhan diartikan sebagai kemampuan (sifat) untuk menyerap energi
sebelum patah. Ketangguhan diperlukan dalam menghadapi kejutan mekanis
(pembebanan impak) dalam pemotongan terputus-putus. Kejutan juga terjadi dalam
pembentukan total kontinyu apabila menjumpai kawasan keras (hard spot) setempat
pada benda. Hard spot dapat terjadi akibat proses reparasi dengan pengelasan
atau pengaruhh pengelasan akibat pengerjaan dingin sebelumnya. Gambar 2.2
mengartikan bahwa hubungan antara kekerasan dan ketangguhan, pahat yang sangat
keras memiliki ketangguhan yang rendah.
c)
Ketahanan terhadap kejutan termal juga diperlukan saat terjadi pemanasan
dan pendinginan yang cepat dalam pemotongan terputus-putus. Konduksivitas
termal yang tinggi memberikan keuntungan karena mampu menjaga suhu di wilayah
kontak tetap dingin.
(Sumber: Rochim, 1993)
E. Pahat Bubut
Pahat bubut digunakan sebagai alat potong pada mesin bubut untuk memotong
benda kerja menjadi bentuk yang dikehendaki. Pahat bubut harus disesuaikan dengan jenis pekerjaan dan jenis bahan benda kerja yang akan dibubut. Material dari pahat
bubut harus mempunyai sifat keras, sehingga sisi potong tahan untuk memotong benda kerja, ulet, agar sisi potong tidak mudah patah dan tahan panas.
Beberapa material pahat bubut yang sering digunakan adalah
baja paduan cor non ferro paduan, baja paduan karbon tinggi
termasuk didalamnya HSS, karbida intan dan keramik.
Sifat –sifat bahan yang mutlak perlu untuk
penyayatan pahat bubut:
1.
Kekerasan yang cukup tinggi melebihi kekerasan benda kerja tidak saja pada
temperatur ruang melainkan pada temperatur tinggi pada saat proses
pembentukan geram berlangsung.
2.
Keuletan yang cukup besar untuk menahan
beban kejut yang terjadi sewaktu
pemesinan dengan interupsi maupun sewaktu memotong benda kerja yang
mengandung bagian yang keras.
3.
Ketahanan beban kejut termal diperlukan apabila terjadi perubahan temperaturyang cukup besar secara berkala.
4.
Sifat adhesi yang rendah, untuk mengurangi afinitas benda kerja terhadap
pahat, mengurangi laju keausan, serta penurunan gaya pemotongan.
5.
Daya larut elemen atau komponen material yang rendah, dibutuhkan demi
memperkecil laju keausan akibat mekanisme.
Secara berurutan material pahat akan di bahas mulai dari yang paling lemah tetapiulet sampai yang paling keras tapi getas, yaitu :
a. Pahat Bubut Standar ISO
Jenis
pahat bubut menurut standar ISO, terdapat 9 (sembilan) type diantaranya: ISO 1,
ISO 2, ISO 3, ISO 4, ISO 5, ISO 6, ISO 7, ISO 8 dan ISO 9. Ilustrasipenggunaan dari berbagai
jenis pahat bubut standar ISO dapat dilihat pada(Gambar 2.9)
Gambar 2.9
Ilustrasi penggunaan berbagai jenis pahat bubut standar ISO
Keterangan:
1)
ISO 1 = Pahat bubut lurus Standar: M 4371
2)
ISO 2 = Pahat bubut bengkok M 4372
3)
ISO 3 = Pahat bubut tekuk M 4378
4)
ISO 4 = Pahat bubut lebar M 4376
5)
ISO 5 = Pahat bubut muka tekuk M 4377
6)
ISO 6 = Pahat bubut samping tekuk M 4380
7)
ISO 7 = Pahat bubut tusuk M 4381
8)
ISO 8 = Pahat bubut dalam M 4373
9)
ISO 9 = Pahat bubut sudut dalam
= Pahat bubutn
runcing M
4374
= Pahat bubut
runcing DIN
4975
F. Material Pahat
Dalam proses permesinan pahat memegang
peranan penting dalam pembubutan.Pemilihan material yang benar akan
memperpanjang umur pahat dan menentukan hasilsuatu proses. Untuk membuat bearing
tentu membutuhkan jenis pahat yang berbedadengan membuat shaft pompa
sentrifugal dan lain sebagainya. Oleh karena itu dikenal berbagai material
penyusun pahat. Proses pembentukan geram dengan cara permesinan berlangsung
denganmempertemukan dua jenis material.
Untuk menjamin kelangsungan proses ini maka jelas diperlukan material pahat
yang lebih unggul daripada material benda kerja.
Keunggulan
tersebut dilihat dari segi (Rochim, 1993):
1.
Kekerasan: Melebihi kekerasan
benda kerja tidak saja pada temperatur ruangmelainkan juga pada temperatur
tinggi saat proses pembentukan gerak berlangsung. `
2.
Keuletan: Cukup untuk menahan beban kejut yang terjadi sewaktu permesinan
dengan interupsi maupun sewaktu memotong benda kerja yang mengandung pertikel /
bagian yang keras.
3.
Ketahanan beban kejut termal: Keunggulan yang dibutuhkan jika terjadi perubahan
temperatur yang cukup besar secara berkala.
4.
Sifat adhesi yang rendah: Sifat ini mengurangi afinitas benda kerja
terhadap pahat, mengurangi laju keausan, serta penurunan gaya pemotongan.
5.
Daya larut elemen / komponen material pahat yang rendah: Kemampuan yang dibutuhkan
demi memperkecil keausan akibat mekanisme difusi. Kekerasan yang rendah dan
daya adhesi yang tinggi tidak diinginkan sebab matapotong akan terdeformasi,
terjadi keausan flank dan crater yang besar. Keuletan yang rendah
serta ketahanan beban kejut termal yang kecil mengakibatkan rusaknya matapotong
maupun retak mikro yang menimbulkan kerusakan fatal.
Berikut merupakan urutan material pahat (Rochim,
1993):
1.
Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel; Carbon Tool Steels)
2.
HSS (High Speed Steels; Tool Steels)
3.
Paduan Cor Nonferro (Cast Nonferous Alloys; Cast Carbides)
4.
Karbida (Cemented Carbides; Hardmetals)
5.
Keramik (Ceramics)
6.
CBN (Cubic Boron Nitrides)
7.
Intan (Sintered Diamonds dan Natural Diamond )
G.
Baja St 37
Baja adalah logam paduan yang terdiri dari
logam besi sebagai unsurdasar dan karbon sehingga unsur paduan utamanya.. Baja
ST 37 adalah baja yang memiliki kekuatan tarik maximum 35- 42 kg/mm2.
Baja ST 37 merupakan baja karbon rendah yang mempunyai kandungan karbon kurang
dari 0,3% seperti Tabel 2.5.
(sumber:
Saito & Surdia. 1999)
H. Kekasaran Permukaan
Salah satu karakteristik geometris yang ideal
dari suatu komponen adalah permukaan yang halus (Munadi, 1980). Dalam
prakteknya memang tidak mungkin untuk
mendapatkan suatu komponen
dengan permukaan yang betul- betul halus. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, misalnya faktor manusia (operator) dan faktor - faktor dari
mesin-mesin yang digunakan untuk membuatnya. Akan tetapi, dengan kemajuan
teknologi terus berusaha membuat peralatan yang mampu membentuk permukaan
komponen degan tingkat kehalusan yang cukup tinggi menurut standar ukuran yang
berlaku dalam metrologi yang dikemukakan oleh para ahli pengukuran geometris
benda melalui pengalaman penelitian.
Tingkat
kehalusan suatu permukaan memang peranan yang sangat penting dalam perencanaan
suatu komponen mesin khususnya yang menyangkut masalah gesekan pelumasan,
keausan, tahanan terhadap kelelahan dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam
perencanaan dan pembuatannya harus dipertimbangkan terlebih dulu mengenai
peralatan mesin yang mana harus digunakan untuk membuatnya serta berapa ongkos
yang harus dikeluarkan. Agar proses pembuatannya tidak terjadi penyimpangan
yang berati maka karakteristik permukaan ini harus dapat dipahami oleh
perencana lebih-lebih lagi oleh operator. Komunikasi karakteristik permukaan
biasanya dilakukan dalam gambar teknik. Akan tetapi untuk menjelaskan secara
sempurna mengenai karakteristik suatu permukaan nampaknya sulit.
Istilah
lain dari permukaan adalah profil (Munadi, 1988:304). Istilah profil sering
disebut dengan istilah lain yaitu bentuk. Profil atau bentuk yang dikaitkan
dengan istilah permukaan mempunyai arti tersendiri yaitu garis hasil pemotongan
secara normal atau miring dari suatu penampang permukaan. Berikut adalah bidan
potong terhadap permukaan yang ideal untuk menganalisa permukaan (Gambar 2.10).
Gambar
2.10 Bidang dan profil pada penampang permukaan (Sumber:
Munadi, 1988)
Gambar 2.11 Profil satu Permukaan
(Sumber : Munadi,1988)
Dengan
melihat Gambar 2.11 maka bentuk dari suatu permukaan pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua yaitu permukaan yang kasar (roughness) dan permukaan yang bergelombang (waviness). Pemukaan yang kasar berbentuk gelombang pendek yang
tidak teratur dan terjadi karena getaran pisau (pahat) potong atau proporsi
yang kurang tepat dari pemakanan (feed)
pisau potong dalam proses pembuatannya. Dalam kualitas pemukaan terdapat
berbagai macam tingkat kekasaran, sehingga nantinya dapat mengukur suatu
kekasaran permukaan dengan standar yang sudah ditentukan. Berikut adalah table
kekasaran permukaan (surface roughness
table). Beberapa nilai contoh kekasaran yang dapat dicapai oleh beberapa
cara pengerjaan diperlihatkan oleh Tabel 2.6.
(sumber:
Rochim, 2001)
Penyelesaian
permukaan dan kekasaran permukaan dipergunakan di dalam industri untuk mengukur
kehalusan suatu pekerjaan permukaan akhir (finishing).
1. Toleransi Harga Ra
Seperti halnya toleransi ukuran (lubang dan poros), harga
kekasaran rata-rata aritmetis Ra juga mempunyai harga toleransi kekasaran.
Dengan demikian masing-masing harga kekasaran mempunyai kelas kekasaran yaitu
dari N1 sampai N12. Besarnya toleransi untuk Ra biasanya diambil antara 50% ke
atas dan 25% ke bawah. Tabel 2.7 menunjukkan harga kekasaran rata-rata beserta
toleransinya.
(Sumber:
Munadi, 1988: 311)
Dimana N1 sampai N12 adalah kelas kekasaran permukaan dan Ra adalah rata-rata harga
kekasarannya. Pengaruh penyelesaian permukaan benda kerja termesin tidak hanya
pada keakuratan dimensi, tetapi juga pada sifat-sifat komponen bahan yang
dihasilkan seperti kelelahan dan kekuatan (Kalpakjian & Schmid: 2001). Tingkat kekasaran permukaan hasil
pengerjaan masing-masing proses pemesinan
tidaklah sama, itu tergantung
pada proses pengerjaannya. Tabel 2.8 menunjukkan tingkat kekasaran rata- rata
menurut proses pengerjaannya.
Munadi (1988: 306) mengatakan bahwa kekasaran
permukaan suatu benda adalah ketidak teraturan dari bentuk permukaan. Ketidak teraturan
dari bentuk permukaan dapat dibedakan menjadi empat tingkat, yaitu:
a)
tingkat yang menunjukkan adanya kesalahan bentuk (form error)
seperti tampak pada gambar disamping. Faktor penyebabnya antara lain karena
lenturan dari mesin perkakas dan benda kerja, kesalahan pada pencekaman benda kerja, pengaruh proses pengerasan (hardening).
b)
adalah profil permukaan yang berbentuk gelombang. Penyebabnya antara
lain karena adanya kesalahan bentuk pada pisau (pahat) potong, posisi senter yang kurang tepat,
adanya getaran pada waktu proses pemotongan.
c)
adalah profil permukaan yang berbentuk alur (grooves). Penyebabnya antara lain
karena adanya bekas-bekas proses pemotongan akibat bentuk pisau potong yang
salah atau gerak pemakanan yang kurang
tepat (feed).
d)
adalah profil permukaan yang berbentuk serpihan (flakes).
Penyebabnya antara lain karena adanya tatal (beram) pada proses pengerjaan,
pengaruh proses electroplating.
2. Batasan Permukaan dan Parameter-parameternya
Menurut istilah keteknikan yang dikemukakan oleh Munaji
(1980), permukaan adalah suatu batas yang memisahkan benda padat dengan
sekitarnya. Dalam prakteknya, bahan yang digunakan untuk benda kebanyakan dari
besi atau logam. Kadang - kadang ada
pula istilah lain yang berkaitan dengan permukaan yaitu profil. Istilah profil
sering disebut dengan istilah lain yaitu bentuk. Profil atau bentuk yang
dikaitkan dengan istilah permukaan mempunyai arti tersendiri yaitu garis hasil
pemotongan secara normal atau serong dari
suatupenampang permukaan. Untuk mengukur
dan menganalisis suatu permukaan dalam tiga dimensi adalah sulit.
Oleh karena itu, untuk mempermudah pengukuran maka
penampang permukaan perlu dipotong. Cara pemotongan biasanya ada empat cara
yaitu pemotongan normal, serong, singgung dan pemotongan singgung dengan jarak
kedalaman yang sama. Garis hasil pemotongan inilah yang disebut dengan istilah
profil, dalam kaitannya dengan permukaan. Dengan melihat profil ini maka bentuk
dari suatu permukaan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua
yaitu permukaan yang kasar (roughness) dan permukaan yang
bergelombang (waviness). Permukaan
yang kasar berbentuk gelombang pendek yang tidak teratur dan
terjadi karena getaran pisau (pahat) potong atau proporsi yang kurang tepat
dari pemakanan (feed) pisau potong dalam proses pembuatannya.
Sedangkan permukaan yang
bergelombang mempunyai bentuk gelombang yang lebih panjang dan tidak teratur
yang dapat terjadi karena beberapa faktor misalnya posisi senter yang tidak
tepat, adanya gerakan tidak lurus (non
linier) dari pemakanan (feed),
getaran mesin, tidak imbangnya (balance) batu
gerinda, perlakuan panas (heat
treatment) yang kurang baik, dan sebagainya. Dari kekasaran (roughness) dan gelombang (wanivess) inilah kemudian timbul
kesalahan bentuk.
Gambar 2.12 Kekasaran,
gelombang dan kesalahan bentuk dari suatu
permukaan
(Sumber : Munaji, 1980)
3.
Menentukan
Kekasaran Rata-Rata
Menentukan kekasaran
rata-rata (Ra) dapat dilakukan dengan cara berikut :
Pertama, gambarkan sebuah garis lurus pada penampang
permukaan yang diperoleh dari pengukuran (profil terukur) yaitu garis X – X
yang posisinya tepat menyentuh lembah paling dalam, gambar 2.13a.
Kedua,amb il
sampel panjang pengukuran sepanjang L yang memungkinkan memuat sejumlah bentuk
gelombang yang hampir sama.
Ketiga, ambil luasan daerah A di bawah kurve dangan
menggunakan planimeter atau dengan metode ordinat. Dengan demikian diperoleh
jarak garis center C – C
terhadap garis X
– X secara
tegak lurus yang besarnya adalah
:
Hm
………………………………………………………………...2.6
Keempat, sekarang diperoleh suatu garis yang membagi
profil terukur menjadi dua bagian yang hampir sama luasnya, yaitu luasan daerah
di atas (P1 + Q2+ P2 + ... dan seterusnya) dan luasan daerah di bawah (Q1 + ...
+ dan seterusnya). Lihat gambar 2.13b. Dengan demikian maka Ra dapat ditentukan besarnya yaitu:
Dimana:
Vv= perbesaran
vertikal. Luas P dan Q dalam milimeter
Gambar 2.13 a
Menentukan kekasaran rata-rata Ra
(Sumber : Dasar-Dasar Metrologi Industri, Munaji, 1980)
Gambar 2.13 b
Menentukan kekasaran rata-rata Ra
(Sumber : Dasar-Dasar Metrologi Industri, Munaji, 1980)
Gambar 2.14
Menentukan kekasaran rata-rata dari puncak ke lembah
(Sumber : Dasar-Dasar Metrologi Industri, Munaji, 1980)
Kekasaran rata-rata dari puncak ke lembah, Rz rata-rata
aritmetis Ra sebetulnya hamper sama dengan kekasaran rata-rata
Ra, tetapi cara menentukan Rz adalah lebih
mudah dari pada menentukan Ra, Gambar 2.14. menunjuk kan cara menentukan Rz.
Sampel pengukuran diambil sejumlah profil yang memuat, misalnya 10 daerah yaitu
5 daerah puncak dan 5 daerah lembah. Kemudian buat garis lurus horizontal di
bawah profil permukaan. Tarik garis tegak lurus dari masing - masing ujung
puncak dan lembah ke garis horizontal. Dengan cara ini maka diperoleh harga Rz
yang besarnya adalah :
Rz
1+R3+R5+R7+R9+Pa)
-
2+R4+R6+R8+R9+R1)
x
………………………..2.8
Table
2.8 Kekasaran permukaanyang diperolehdalam berbagai proses pemesinan. perhatikanberbagaimasing-masing kelompok, terutamadalam
membubutdan mengebor.
(Sumber: Kalpakjian & Schmid:
2008)
I. Alat Ukur Kekasaran Permukaan
Untuk mengukur kekasaran permukaan pada spesimen/ benda
kerja,digunakan peralatan yang dilengkapi dengan jarum peraba (Rochim, 2001). Peralatan
yang digunakan pada penelitian ini bekerja berdasarkan prinsip elektrik Surface
Roughness Tester.
Gambar 2.15 Surface Roughness Tester
J. DESAIN EKSPERIMEN
Eksperimen merupakan suatu test atau dereta
test untuk melihat pengaruh perubahan variabel input dari suatu proses atau
sistem terhadap variabel respon atau variabel output yang diamati. Dalam
konsep desain eksperimen, eksperimen biasanya dilakukan pada sistem nyata itu
sendiri bukan pada model dari sistem. Dengan kata lain eksperimen untuk mencari
nilai variabel respon yang diamati tidak dapat dilakukan dengan menggunakan
model matematik seperti dalam simulasi atau optimasi (operation research).
Desain eksperimen merupakan langkah lengkap
yang perlu diambil jauh sebelum eksperimen dilakukan agar data yang diperoleh
membawa kepada analisis obyektif dan kesimpulan yang berlaku persoalan yang
sedang dabahas (Sudjana, 1985).
Beberapa
istilah atau pengertian yang harus dipahami sebelum mempelajari metode desain
eksperimen (Sudjana, 1995; Montgomery, 2005), sebagai berikut:
1.
Unit eksperimen, obyek eksperimen (baja ST 37) nilai-nilai variabel
respon diukur.
2.
Universe,
merupakan daerah asal (populasi) sampel.
3.
pengacakan (randomisasi)
Merupakan sebuah upaya untuk memenuhi beberapa asumsi
yang diambil dalam satu percobaan. Pengacakan berupaya untuk memenuhi syarat
adanya independesi yang sebenarnya hanya memperkecil adanya korelasi antar
pengamat, menghilangkan “bias”, dan memenuhi sifat probabilitas dalam
pengukuran.
4.
kekeliruan eksperimen
Merupakan kegagalan dari dua unit eksperimen identik yang
dikenai perlakuan untuk member hasil yang sama.
5.
variable respon (effect)
Nama lainnya adalah dependent variable, variable output,
ataupun ukuran performansi, yaitu output yang ingin diukur dalam eksperimen.
Variable respon dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif.
6.
faktor (causes)
Sering disebut sebagai independent variable, variable
input, atau faktor penyebab, yaitu input yang nilainya akan diubah-ubah dalam
eksperimen, faktor bisa bersifat kualitatif atau kuantitatif dan fixed dan
random. Faktor bersifat random jika level- level yang diuji dalam eksperimen
dipilih secara random oleh eksperimenter.
7.
taraf (levels)
Merupakan nilai- nilai atau klasifikasi- klasifikasi dari
sebuah faktor. Taraf (levels) faktor
dinyatakan dalam bilangan 1,2,3 dan seterusnya. Misalkan dalam sebuah
penilitian terdapat faktor- faktor, yaitu:
a. Jenis kelamin
b. Cara mengajar
Selanjutnya taraf untuk faktor a adalah 1 menyatakan
laki- laki, 2 menyatakan perempuan (a1, a2). Bila cara mengajar ada tiga, maka
dituliskan dengan b1, b2, b3.
8.
Perlakuan (treatment)
Sekumpulan kondisi eksperimen yang akan digunakan
terhadap unit eksperimen dalam ruang lingkup desain yang dipilih. Perlakuan
merupakan kombinasi level-level dari seluruh faktor yang ingin diuji dalam
eksperimen.
9.
Replikasi
Pengulangan eksperimen dasar yang bertujuan untuk
menghasilkan taksiran yang lebih akurat terhadap efek rata-rata suatu faktor
ataupun terhadap kekeliruan eksperimen.
10. Faktor pembatas atau blok (restriction)
Sering disebut juga sebagai variabel kontrol (dalam
Statistik Multivariat). Yaitu faktor-faktor yang mungkin ikut mempengaruhi
variabel respon tetapi tidak ingin diuji pengaruhnya eksperimenter karena tidak
termasuk ke dalam tujuan studi.
11. Randominasi
Cara mengacak unit-unit eksperimen untuk dialokasikan
pada eksperime. Metode randominasi yang dipakai dan cara mengkombinasikan
level-level dari faktor yang berbeda menentukan jenis desain eksperimen yang
akan terbentuk.
1.
Langkah-Langkah Eksperimen
Langkah-langkah dalam setiap proek eksperimen
secara garis besar terdiri atas tiga tahapan, yaitu planning phase, design
phase, dan analysis phase. (Hicks, 1993).
1.
Planning phase
Tahapan dalam planning phase, adalah:
a.
Membuat problem statement sejelas-jelasnya
b.
Menentukan variabel bebas (dependent variables), yaitu efek yang
ingin diukur sering disebut sebagai kriteria atau ukuran performansi
c.
Menentukan independent variables
d.
Menentukan level-level yang akan diuji, tentukan sifatnya, yaitu:
-
Kualitatif atau kuantitatif
-
Fixed
atau random
e.
Menentukan cara bagaimana level- level dari beberapa faktor akan
dikomboibasikan (khusus untuk eksperimen dua faktor atau lebih).
2.
Design Phase
Tahapan dalam design phase, adalah:
a.
Menentukan jumlah observasi yang diambil
b.
Menentukan urutan eksperimen (urutan pengambilan data).
c.
Menentukan metode randomisasi.
d.
Menentukan model matematik yang menjelaskan variable respon.
e.
Menentukan hipotesis yang akan diuji.
3.
Analysis Phase
Tahapan dalam analysis phase, adalah:
a.
Pengumpulan dan pemprosesan data.
b.
Menghitung nilai statistic- statistic uji yang dipakai.
c.
Menginterpresentasikan hasil eksperimen.
2. Eksperimen factorial (factorial experiment)
Eksperimen factorial digunakan jumlah
faktor yang diuji lebih dari satu. Eksperimen factorial adalah eksperimen
dimana semua ( hampir semua) taraf (levels)
sebuah faktor tertentu dikombinasikan dengan semua (hampir semua) taraf (levels) faktor lainnya yang terdapat
dalameksperimen (Sudjana, 1985).
Di dalam eksperimen factorial, terjadinya
hasil dipengaruhi oleh lebih dari satu faktor, atau dikatakan terjadi interaksi
antar faktor. Secara umum interaksi didefinisikan sebagai perubahan dalam
sebuah faktor mengakibatkan perubahan nilai respon, yang berbeda pada tiap
taraf untuk faktor lainnya, maka antara kedua faktor itu terdapat interaksi
(Sudjana, 1985).
3.
Tahap Analisis
Pada tahap ini, pengumpulan dan
pengolahan data dilakukan. Selain itu, juga dilakukan perhitungan dan pengujian
data statistik pada data hasil eksperimen.
a.
Analisis Variansi (ANAVA) Dua
Arah. Analisis variansi adalah teknik perhitungan yang memungkinkan secara
kuantitatif mengestimasi kontribusi dari setiap faktor pada pengukuran respon.
Analisis variansi yang digunakan pada desain parameter berguna untuk membantu
mengidentifikasi kontribusi faktor, sehingga akurasi perkiraan model dapat
ditentukan ( Fowlkes dan Clyde, 1995).
ANAVA
digunakan untuk menganalisis data percoban yang terdiri dari dua faktor atau
lebih dengan dua level atau lebih. Tabel ANAVA terdiri dari perhitungan derajat
kebebasan (db), jumlah kuadrat (sum of
squares, SS), kuadrat tengah (mean of
squares, MS) dan Fhitung seperti ditunjukkan pada Tabel 2.12
(Montgomery, 2009).
Tabel 2.11 Tabel Analisis Variansi (ANAVA)
Sumber Variansi
|
Db
|
SS
|
MS
|
Fhitung
|
Faktor A
|
υA
|
SSA
|
MSA
|
MSA/MSerror
|
Faktor B
|
υB
|
SSB
|
MSB
|
MSB/MSerror
|
Faktor C
|
υC
|
SSC
|
MSC
|
MSC/MSerror
|
Residual
|
υerror
|
SSerror
|
MSerror
|
|
Total
|
υT
|
SST
|
dengan:
υT = derajat bebas total.
= N-1 ………………………………………………………….2.9
υA = derajat bebas faktor A.
= kA – 1………………………………………………………...2.10
υB = derajat bebas faktor B.
= kB – 1 ………………………………………………………2.11
υC = derajat bebas faktor C.
= kC – 1
…………………………………………...……………2.12
υerror = derajat bebas error.
= υT – υA – υB
– υC (υAxυBxυC) ……………………………….2.13
T = jumlah keseluruhan pengamatan.
=
………………………………………………………..2.14
CF = faktor koreksi.
=
.........................................................................................2.15
SST = jumlah kuadrat total.
=
...........................................................................2.16
SSA = jumlah kuadrat faktor A.
=
...................................................................2.17
SSB = jumlah kuadrat faktor B.
=
...................................................................2.18
SSC = jumlah kuadrat faktor C
SSE = jumlah kuadrat error.
= SST – SSA – SSB
–SSC
..........................................................2.20
MSA = kuadrat tengah faktor A.
= SSA/υA
....................................................................................2.21
MSB = kuadrat tengah faktor B.
= SSB/υB
....................................................................................2.22
MSB = kuadrat tengah faktor C.
= SSC/υC
....................................................................................2.23
MSE = kuadrat tengah error.
= SSE/υerror
.................................................................................2.24
kA = jumlah level faktor A.
kB = jumlah level faktor B.
kC = jumlah level faktor C
N = jumlah total percobaan.
nAi = jumlah total pengamatan faktor A.
nBj = jumlah total pengamatan faktor B.
nCk =
jumlah pengamatan faktor C.
Model persamaan untuk mewakili tiga faktor dan interaksinya adalah:
yijkl = µ + τi + βi + γk+ (τβ)ij +
(τγ)ik + (βγ)jk + (τβγ)ijk + εijkl ……...2.25
dengan: i = 1, 2, ..., a
j = 1, 2, ..., b
k = 1, 2, ..., c
l = 1, 2, ..., n
µ = nilai keseluruhan
τi = efek faktor A taraf ke-i
βj =efek faktor B taraf ke-j
γk = efek faktor C taraf ke-k
Dari tabel ANAVA 2.4 dapat dilakukan pengujian terhadap
perbedaan pengaruh level. Bila menggunakan software Minitab 16, kegagalan menolak H0 dilakukan jika
p-value lebih besar daripada α (taraf signifikansi). Kegagalan menolak H0
juga dilakukan apabila nilai Fhitung yang lebih besar dari dua (Park, 1996)
Gambar
2.17 desain Faktorial 23
(sumber: Montgomery, 2009)
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Tahapan Penelitian
Mulai
|
|
Perumusan Masalah
|
|
Pengambilan Data Hasil
Eksperimen
|
Analisis Data dan Pembahasan
|
selesai
|
|
Pelaksanaan
Eksperimen
|
Studi Pustaka
|
Desain Eksperimen
Variabel Proses:
- Kecepatan
potong (Cs,
m/menit): 50 dan 80 - Gerak makan (f, mm/(r)): 0,07 dan 0,09 - Kedalaman pemakanan (ar, mm): 0,3 dan 0,7
Variabel
Konstan:
- Sudut potong utama kr 900
Variabel
Respon:
- Kekasaran (Ra,
µm),
|
A
|
A
|
Pemilihan Matriks Penelitian
|
Persiapan Eksperimen
|
PenarikanKesimpulan dan Pemberian
Saran
|
Gambar 3.1 Diagram Alir Tahapan Penelitian
(lanjutan)
B. Variabel Penelitian
Variabel-variabel
yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data eksperimen adalah
sebagai berikut:
1.
Variabel bebas
Variabel
bebas merupakan variabel yang nilainya dapat dikendalikan dan dapat ditentukan berdasarkan
pertimbangan tertentu dalam penelitian yang mengarah pada tujuan dari penelitian. Variabel bebas yang digunakan pada penelitian
ini adalah:
a.
Kecepatan potong (Cs, m/menit)
b.
Gerak makan (f, mm/put)
c.
Kedalaman potong (a, mm)
2.
Variabel respon
Variabel respon merupakan variabel yang nilainya tidak dapat
ditentukan diawal dan akan dipengaruhi oleh perlakuan yang
diberikan. Nilai variabel ini dapat diketahui setelah melakukan eksperimen.
Variabel respon yang digunakan pada penelitian ini adalah Kekasaran permukaan (Ra, µm).
3.
Variabel konstan.
Variabel konstan merupakan variabel yang nilainya ditentukan berdasarkan
pertimbangan tertentu dalam penelitian yang mengarah pada tujuan dari penelitian. Variabel konstan yang digunakan pada
penelitian ini adalah:
a.
Sudut potong utama ( 0),
C.
Bahan dan Peralatan
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain adalah:
1. Benda Kerja
Material benda kerja
yang digunakan pada penelitian ini adalah material Baja ST 37. Material ini memiliki
dimensi Ø35 x 150 mm.
Gambar 3.2 benda kerja ST 37
2. Pahat
Gambar 3.3 Pahat Bubut HSS
a. Kekerasan
: 81- 86.5 HRA
b. Struktur mikro : martensit, austenit sisa dan karbida
c.
Komposisi kimia :
Table 3.1 komposisi kimia material pahat HSS
(Davis.J.R., 2000)
3.
Mesin Bubut Manual
Mesin bubut
manual yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin bubut
yang terdapat
di bengkel permesinan SMKN
I Kediri.
Adapun spesifikasinya adalah sebagai berikut:
·
Merk
:
Ann Yang Machinery CO. LTD, Taiwan
·
Model : DY-380X000G
·
Variabel kecepatan
pemotongan :
a.
High : 80 m/menit
b.
Low : 50 m/menit
Gambar 3.4 mesin bubut
4.
Surface Roughness Tester
Pengukuran
kekasaran permukaan pada penilitian ini dilakukan dengan menggunakan Mitutoyo
Surftest 301-1 seperti ditunjukan oleh Gambar 3.5 Kecermatan yang dimiliki oleh
alat ini adalah 0,1 µm.
Gambar 3.5. Mitutoyo Surftest 301-1
5. Peralatan bantu
a.
Jangka sorong
Gambar 3.6 Jangka sorong
b.
Meja rata
Meja rata digunakan sebagai tempat untuk meletakan Surface Roughness Tester dan spesimen
uji seperti terlihat pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7 Meja rata
c.
V-blok
Gambar 3.8 V-blok
d.
Dial indicator dan Pemegangnya
Dial indicator dan dudukan yang ditunjukkan pada Gambar 3.9 digunakan untuk melakukan pemeriksaan apakah spesimen uji
berada pada posisi center pada pencekaman di mesin bubut.
Gambar 3.9 Dial Indicator dan
Dudukan
D. Rancangan Percobaan
1. Seting Faktor Pada Mesin Bubut
Rancangan eksperimen ini kontrol dan level dari masing - masing
variabel tersebut.
Tabel 3.2 menunjukkan jenis variabel
bebas, jumlah level
dan nilai dari
variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini.
Tabel 3.2 Variabel bebas dan pengaturan level
level 1
|
level 2
|
|||
A.
|
Cutting Speed (cs)
|
m/mnt
|
50
|
80
|
B.
|
Gerak makan (f)
|
mm/put
|
0.07
|
0.09
|
C.
|
Kedalaman pemakanan(a)
|
mm
|
0,3
|
0,7
|
Sedangkan faktor konstan yang dipertahankan
didalam penelitian ini adalah:
·
Sudut potong utama kr 900.
Untuk menentukan
cutting speed terhadap putaran benda kerja yang digunakan dari persamaan
untuk v1= 50 m/
menit dan diameter 35mm
sedangkan untuk v2 = 90 m/menit dan diameter 35 mm
2. Faktor dan Level Penelitian
Faktor dan level penelitian yang diguakan tampak padaTabel 3.3 sedangkan matrik penelitiannya ditunjukan
pada tabel 3.3.
Tabel 3.3 Variabel Bebas Penelitian
Variabel Bebas
|
Level
|
Nilai Variabel
|
||
Kecepatan potong (m/menit)
|
2
|
50
|
80
|
|
Laju pemakanan (f, mm/put)
|
2
|
0.07
|
0.09
|
|
Kedalaman pemakanan (a, mm)
|
2
|
0,3
|
0,7
|
Tabel 3.4 Matrik Penelitian
NO
|
PARAMETER PEMESINAN
|
||
Putaran Spindle
|
Gerak makan
|
Kedalaman pemakanan
|
|
1.
|
50
|
0.07
|
0.3
|
2.
|
80
|
0.07
|
0.3
|
3.
|
50
|
0.09
|
0.3
|
4.
|
80
|
0.09
|
0.3
|
5.
|
50
|
0.07
|
0.7
|
6.
|
80
|
0.07
|
0.7
|
7.
|
50
|
0.09
|
0.7
|
8.
|
80
|
0.09
|
0.7
|
Pengambilan
data eksperimen dilakukan secara acak dengan kombinasi parameter mengacu pada
rancangan percobaan yang sesuai dengan matrik penelitian pada Tabel 3.4. Pengacakan ini dilakukan
dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Minitab
16.
3. Prosedur Percobaan
Ø Langkah-langkah eksperimen yang akan
dilakukan pada penelitian ini untuk mendapatkan kekasaran permukaan dan keausan
pahat adalah sebagai berikut:
a.
Menyiapkan spesimen uji yang meliputi: penyesuaian ukuran, perataan,
pembersihan spesimen dari kotoran- kotoran yang dapat mengganggu proses
pemotongan dan penomoran spesimen.
b.
Mempersiapkan bahan ST 37 Ø 35 x 150 mm,sebanyak 17 spesimen.
c.
Menyiapkan perlengkapan mesin bubut yang dibutuhkan daintaranya: pahat
bubut rata HSS, kunci chuck dan tool post.
d.
Menyeting pahat HSS.
Pahat
dicekam pada tool post dengan kondisi mata potong keluar sepanjang kurangf
lebih 30 mm sehingga tidak over hang. Semua pahat disetting pada kondisi yang
sama.
e.
Memasang material benda kerja.
Material dipasang pada chuck mesin bubut
dengan kondisi panjang pemotongan 150 mm dan melakukan pemeriksaan bahwa benda
kerja berada pada posisi terpusat.
Gambar 3.10.
Dimensi benda kerja
f.
Menghidupkan mesin bubut dan menyeting parameter-parameter yang telah
ditetapkan sesuai dengan rancangan eksperimen.
g.
Melaksanakan proses pembubutan sesuai kombinasi parameter pada spesimen
uji sepanjang 100mm.
Gambar 3.11 Set up percobaan
h.
Melepaskan benda kerja dari ragum setelah proses pemotongan selesai.
i.
Melepas pahat bubut HSS pada pemegang pisau.
j.
Mengulang langkah ketiga hingga kedelapan untuk spesimen dan kombinasi
parameter berikutnya.
Ø Langkah –langkah dari pengukuran kekasaran
permukaan adalah sebagai berikut:
a. Lakukan kalibrasi
sensor pada surface roughness tester
b. Letakan specimen
uji pada V-blok
c. Ujung sensor dari
surface roughness tester disentuhkan pada specimen uji
d. surface roughness
tester diaktifkan untuk melakukan proses pengukuran kekasaran permukaan
sepanjang 5 mm.
Daerah dan arah
pengukuran kekasaran permukaan.
Gambar 3.12 Skema Pengukuran Kekasaran
Permukaan
e. hasil kekasaran
permukaan dapat dilihat pada layar display surface roughness tester.
f. Specimen uji
dibebaskan dari ujung sensor surface roughness tester untuk diletakan pada
permukaan
g. Langkah ketiga
hingga keenam diulang kembali untuk mendapatkan hasil kekasaran permukaan pada
specimen uji yang sama. Hal ini dilakukan berulang hingga mendapatkan 1 data
nilai kekasaran aritmatika (Ra) untuk pada tiap spesimen uji.
E. Metode Analisa Data
Tabel 3.5 Pengambilan data
NO
|
PARAMETER
PEMESINAN
|
Kekasaran (µm)
|
||
Putaran
Spindle
|
Gerak
makan
|
Kedalaman
pemakanan
|
||
1.
|
50 (454)
|
0.07
|
0.3
|
|
2.
|
80 (727)
|
0.07
|
0.3
|
|
3.
|
50 (454)
|
0.09
|
0.3
|
|
4.
|
80 (727)
|
0.09
|
0.3
|
|
5.
|
50 (454)
|
0.07
|
0.7
|
|
6.
|
80 (727)
|
0.07
|
0.7
|
|
7.
|
50 (454)
|
0.09
|
0.7
|
|
8.
|
80 (727)
|
0.09
|
0.7
|
DAFTAR PUSTAKA
Amstead, B.H. 1970. Teknologi
Mekanik. Jakarta: Erlangga.
Asmed dan Yusri. 2010. Pengaruh Parameter Pemotongan Terhadap Kekasaran Permukaan Proses Bubut Material ST 37, Jurnal
teknik Mesin, Vol. 7, No. 2.
Bagus, dkk. 2013, Pengaruh jenis pahat bubut terhadap kekasaran permukaan hasil pem pada
bahan Stainlees steel, Jurnal Energi dan manufaktur Vol 6, No1 April.
Bimbing Atedi dan Djoko Agustono.
2005. Standar Kekasaran Permukaan Bidang Pada Yoke Flange Menurut ISO R 1320
Dan DIN 4768 Dengan memperhatikan Nilai Ketidakpastiannya. Volume 6, No.2.
Child, dkk. 2000. Metal Machining Theory and
Aplication. New York: Jonh Wiley & Sons Inc.
Dieter, G., terjemahan oleh Sriati Djeprie. 1987. Met.alurgi Mekanik, Jilid 1, edisi ke-tiga. Jakarta:
Erlangga.
Febrian. 2008. Mengembangkan Model
Matematika T.Q Dan Mrr Sebagai Parameter Karateristik Performa Pahat Bagi
Memperoleh Kondisi Pemotongan Optimum, Medan: Usu Repository.
Fowlkes, William Y.
dan Creveling, Clyde M., 1995, Engineering
Methods for Robust Product Design Using Taguchi Methods in Technology and
Product Development. New York: Addison-Wesley Publishing Company.
Hadimi. 2008. Pengaruh
Perubahan Kecepatan Pemakanan Terhadap Kekasaran Permukaan Pada Prose
Pembubutan. Vol. 11, N0.1.
Hicks, Philip E. 1994. Industrial Engineering and Management. Tokyo: A New Perspective. McGraw-Hill.
J. R. Davis. 1995. ASM Speciality
Handbook. Tool Materials. Ohio: ASM
Internasional.
Juanda. 2008. Karakteristik Aus Pahat Karbida Berlapis Pada Proses Pembubutan Kering
Bahan Otomotif. Medan: USU Repository.
Kalpakjian, S. Dan Steven, R. S. 2001. Manufacturing Processes for Engineering Materials. New Jersey: Prentice Hall.
Kalpakjian, S. Dan Steven, R. S. 2008. Manufacturing Processes for Engineering
Materials. New Jersey: Prentice Hall.
Lie, Raul. A. 2014. Pengaruh Variasi Kecepatan Potong Dan
Kedalaman Potong Pada Mesin Bubut Terhadap Tingkat Kekasaran Permukaan Benda
Kerja ST 41. Malang: Universitas Negeri Malang.
Montgomery,
D. C. 2005. Design and analysis of
experiments 6th Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Montgomery, D. C. 2009. Design and
Analysis of Experimen 7th Edition. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Munadi, S. 1980. Dasar-Dasar Metrologi
Industri. Jakarta: Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
d
Paridawati. 2015. Pengaruh Kecepatan
Dan Sudut Potong Terhadap Kekasaran Benda Kerja Pada Mesin Bubut. (online),
tersedia: http://ejournal.unismabekasi.ac.id, diunduh 31
Januari 2016.
Park,
S. H. 1996. Robust Design and Analysis for Quality Engineering First Edition. London: Chapman
& Hall.
Prasetyo, A. B 2015. Aplikasi Metode Taguchi Pada Optimasi Parameter Permesinan Terhadap
Kekasaran Permukaan Dan Keausan Pahat HSS Pada proses Bubut Material ST 37.
Jurnal. Kediri: UNP.
Rochim, T. 1993. Teori & Teknologi Proses
Permesinan Laboratorium Produksi. Dan
Metalurgi Industry. Bandung: Jurusan Teknik Mesin ITB.
Rochim, T. 1993. Proses Pemesinan.
Bandung: HEDSP.
Rochim, T. 2001. Spesifikasi,
Metrologi, dan Kontrol Kualitas Geometrik. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Schey, J. A. 2000. Introduction to
Manufacturing Processes. McGraw-Hill.
Setyawan, F. B. 2011. Pengaruh Geometri Sudut Pahat High Speed Steel (HSS) Terhadap Umur
Pahat Dan Penyusutan Stadard Operating Procedure (SOP) Pengasahan Pahat Pada
Proses Bubut Aluminium Paduan Rendah. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Sudjana. 1985. Desain Eksperimen edisi II. Bandung:
Tarsito.
Sumbodo, W. 2008. Teknik Produksi Mesin Industri. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Surdia, T. Saito, S. 1999. Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta: PT
Pradnya Paramita.
Widarto. 2008. Teknik Pemesinan.
Jakarta: Depdiknas.
Kami adalah perusahaan yang khusus menjual produk Pelumas/Oli dan Grease/Gemuk untuk sektor Industri.
BalasHapusOli yang kami pasarkan diantaranya untuk aplikasi : Diesel Engine Oil, Transmission Oil, Gear Oil, Compressor Oil, Hydraulic Oil, Circulating & Bearing, Heat Transfer Oil, Slideway Oil, Turbine Oil, Trafo Oil, Metal Working Fluid, Synthetic Oil, Corrosion Preventive, Wire Rope, Specialities Oil dan aneka Grease/Gemuk.
Kami menjadi salah satu perusahaan yang dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan pabrik-pabrik besar di Indonesia, termasuk kebutuhan akan pelumasan khusus.
Prinsip kami adalah selalu mengembangkan hubungan jangka panjang kepada setiap customer. Bila anda butuh info lebih lanjut, silahkan menghubungi kami.
Mobile : 0813-1084-9918
Whatsapp : 0813-1084-9918
name : Tommy. K
Email1 : tommy.transcal@gmail.com
Casino Apps In Mississippi, BetMGM, DraftKings
BalasHapusBetMGM Sportsbook, which opened 제주 출장샵 its doors in early 2020, has become the premiere 정읍 출장샵 mobile 김천 출장마사지 sports betting app in the country. It 의정부 출장마사지 is 광주 출장샵 also